Ketika seseorang memiliki harta
banyak, kecenderungan untuk tidak konsisten pada jalur yang benar, terbuka
lebar. Demikian juga ketika uang berada pada kekuasaannya, meskipun bukan
miliknya, apalagi uang negara, dipakai dulu untuk kepentingan lain, kepentingan
pribadi atau kepentingan politik. Sehingga terbuka lebar untuk berbuat korupsi.
Sistem talang-menalang terjadi. Kalau yang ditalangi proyek yang kebetulan
batal atau tidak cair, timbullah banyak masalah baru seperti lingkaran syaitan.
Maka, pengendalian nafsu serakah pada situasi suka, senang dan banyak harta,
harus dilakukan sebagai langkah penyelamatan kehidupan manusia.
Pada waktu dua sijoli, laki-laki
dan perempuan jatuh cinta, kecenderungan untuk berpelukan dan bermesraan sangat
kuat, sungguhpun dilarang oleh agama. Bahkan ketika bertunangan, mereka
menganggap resmi. Sehingga melakukan hubungan intim layaknya suami istri. Tak
peduli dengan norma agama yang dianutnya. Peristiwa semacam ini di beberapa
daerah sudah dianggap biasa. Maka, seorang pemuda ketika digoda oleh perempuan
cantik dan seksi, kemudian menolak dengan berkata : “Aku takut kepada Allah” ia
menjadi manusia pilihan dan menjadi penghuni syurga.
Seseorang yang menduduki jabatan,
atau kekuasaan, terbuka lebar untuk berbuat serong, baik berbuat serong dengan
perempuan, atau berbuat korupsi, atau kedua-duanya. Apalagi cara pemerolehan
jabatannya menggunakan uang, jelas-jelas sudah direncanakan untuk melakukan
korupsi, agar uang miliknya kembali. Budaya korupsi sudah mendarahdaging di
kalangan pejabat, baik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Sehingga pemberantasannya harus selalu diperjuangkan ibarat mencabut rambut di
atas duri. Sebab jabatan adalah anugrah dari Allah yang tidak bisa diminta,
apalagi dicari melalui cara-cara yang tidak etis, seperti dengan suap, pemilhan
yang tidak fair dan lain-lain. Jelas dilarang oleh Allah swt.
Ketika seseorang menyukai makanan
atau buah-buahan dan memilikinya, masihkah ingat dengan tetangga, atau orang
lain yang sangat membutuhkan. Ketika seseorang mempunyai segelas air susu,
kemudian datang orang kehausan, maukah dia memberi susu kepada orang itu,
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda : “Tidak
termasuk orang mu’min, orang yang kenyang sementara tetangganya lapar”.
Ketika seseorang menyukai
perhiasan atau baju yang mahal, bisakah dia menolak atau mengendalikan
keinginannya, karena banyak keperluan lain yang lebih penting. Atau sebaliknya,
karena ingin tampil mewah dan dipuji orang, atau ada do’I yang jatuh cinta
kepadanya, meskipun sudah berkeluarga dan punya anak.
Ketika seseorang menyukai
binatang piaraan, misalnya : burung, ikan hias, monyet atau gajah. Apakah dia
sibuk ngurusi binatang itu, sementara lupa dengan sholat, atau lupa akan kewajiban-kewajibannya.
Ketika burung piaraannya lepas, karena ulah anaknya, apakah dia marah-marah
atau bahkan memukul anaknya sampai keluar darahnya.
Ketika seseorang menyukai mobil
baru atau rumah mewah, kemudian ia membeli, apakah dia sibuk mencuci, membersihkan,
atau menghiasnya, sementara lupa akan panggilan sholat jama’ah. Atau pergi-pergi terus dengan mobil barunya dengan
tidak peduli terhadap kewajibannya sebagai istri atau suami. Atau malah berbuat
selingkuh di dalam mobil yang baru itu.
Orang terkadang bangga menjadi
polisi karena ditakuti banyak orang. Kebanggaan itu kemudian dimanfaatkan untuk
membeking perjudian, pelacuran, atau hiburan maksiat, karena dapat mengeruk
uang. Bahkan terkadang kedudukannya sebagai polisi dipergunakan untuk memeras
rakyat dengan cara mencari kesalahan atau pelanggaran lalu-lintas. Terkadang pula dimanfaatkan untuk menggait
gadis-gadis cantik sebagai pemuas nafsu. Padahal semestinya polisi berfungsi
sebagai pelindung, atau pengayom rakyat, aktor pemberantas akar kejahatan tanpa
harus menunggu laporan. Terkadang karena yang melaporkan tidak memberi uang,
tidak ditindaklanjuti. Apalagi jika sipelaku kejahatan memberi suap.
Manusia tidak bisa lepas dari
hubungan dengan orang lain sebagai makhluk sosial, bisa berhubungan dengan
suami, istri, anak-anak, tetangga, kawan, kerabat, dll. Ketika hubungan antar
sesama manusia tidak harmonis, lebih-lebih dengan pasangannya, akan menimbulkan
sikap acuh tak acuh, sikap tertutup, sikap sedih, bisa juga menimbulkan rasa
benci, marah dan dendam. Perasaan ini bila dibiarkan mengendap lama, tidak
disalurkan, akan tersimpan di alam bawah sadar dan selanjutnya akan
mengakibatkan gangguan mental, depresi dan bahkan penyakit fisik, seperti :
gangguan percernaan, sariawan, batuk-batuk atau sesak nafas. Maka sebaiknya
seorang mu’min dalam kondisi apapun selalu dapat mengendalikan marah, dan
diganti dengan sikap pemaaf, sabar dan tawakkal. Sehingga tidak ada sesuatu
yang mengganjal di hati dan semua dikembalikan kepada Allah dengan penuh keikhlasan.
Seseorang yang berbuat salah,
terkadang dicacimaki, dihukum atau dihina oleh orang tuanya, atau atasannya,
lantas dia kecewa, menyesal dan sedih. Jika peristiwa ini seringkali terjadi,
dia akan selalu merasa salah, lalu menjadi murung dan rendah diri atau penakut.
Orang lain dianggap musuh semua yang pekerjaannya suka menyalahkan. Jiwa yang
sakit seperti ini akibat tidak mampu menghadapi berbagai godaan di sekitarnya
dan harus segera diobati melalui terapi penyembuihan mental. Bisa dengan SEFT,
bisa dengan Healing Therapy, bisa dengan Inner Child.
Terkadang orang tidak mampu
mengendalikan diri dari rasa iri atau dengki ketika melihat tetangganya punya
mobil mewah atau rumahnya bagus. Padahal hasud atau dengki sangat dikecam oleh
Rasulullah saw. Beliau bersabda : “Jagalah dirimu dari sifat hasud. Karena ia
akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar”.
Sebenarnya semua yang menimpa
pada diri manusia adalah ujian atau cobaan, baik yang manis, maupun yang pahit,
baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Tetapi orang sering menganggap
bahwa cobaan itu yang pahit-pahit, seperti :
fakir, miskin, bangkrut, hutangnya banyak, kebakaran, dirampok, sakit
parah, dipenjara, dll. Sementara yang manis-manis tidak dianggap ujian.
Padahal, tidak sedikit orang yang diuji dengan yang manis-manis malah tidak
kuat, lalu tergelincir dalam dosa dan kemaksiatan sebagaimana uraian di atas.
Manusia ketika diuji dengan
kebaikan, kekayaan dan kenikmatan, ia merasa dimuliakan, lalu merasa sombong.
Dan ketika diuji dengan penderitaan, keburukan dan kemiskinan, ia merasa
direndahkan dan dihinakan, lalu berputus asa. Semua bentuk ujian yang menimpa
manusia sebenarnya adalah penghormatan Allah kepada hamba-Nya. Sehingga manusia
semestinya harus bersyukur kepada-Nya, karena mendapatkan penghormatan. Namun
tidak banyak yang menyadari hal itu. Akibatnnya, di antara mereka ada yang
takut miskin, takut kehilangan pekerjaan, takut kehilangan istri/suami dan
anak-anak, takut kehilangan jabatan, takut menghadapi masa depan yang belum
jelas, takut dengan bayangannya sendiri dan takut mati. Semua berasal dari
Allah dan akan kembali kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar