Ada
kecenderungan kalau orang mendapatkan rizki tidak mau bercerita kepada orang
lain. Sementara kalau mendapatkan musibah atau cobaan mengeluh lantas bercerita
kemana-mana, kepada tetangga, kepada
teman atau orang lain. Kecenderungan ini dimotivasi oleh rasa kekhawatiran
kalau rizki itu diminta atau orang-orang mau pinjam, mau hutang atau
orang-orang minta syukuran. Padahal dengan langkah itu dia bisa memberi dan
meminjami atau mengadakan syukuran yang justru menambah amal dan kebaikannya.
Sebaliknya mengeluh lantas bercerita tentang musibah pertanda dia cengeng atau
minta bantuan. Tidak semua orang respek atau peduli dan membantu orang yang
kesusahan. Malah ada orang yang justru gembira, sinis dan mengejek kalau
tetangganya kesusahan.
Itulah
sebabnya Islam mengajak kepada umatnya untuk selalu bersyukur. Salah satu
implementasi syukur adalah “tahadus bin ni’mah” (bercerita tentang nikmat dan
rizki yang diterima). Tidak mungkin seseorang bersyukur kepada Allah dengan
cara mengeluh. Sebab mengeluh sebagai tanda tidak sabar. Sebaliknya bersyukur
berarti menerima ketentuan Allah, bahkan rela/ ikhlas seta merasakan bahwa
nikmat yang diberikan Allah begitu banyak dibandingkan dengan kesedihan atau
musibah yang dialami. Sehingga meskipun mendapatkan musibah, ia tetap ceria dan
tampil tegar dengan ekspresi wajah selalu tersenyum tanpa beban sedikitpun di
hatinya.
Orang
yang memperoleh mikmat/rizki sedikit
tetapi tidak bersyukur diberi kekayaan sebesar apapun tidak akan pernah bersyukur
sebagaimana Qarun yang hidup di zaman
Nabi Musa as. Sebab ia merasakan
harta yang dimilikinya masih kurang dan belum memenuhi semua keinginannya.
Tidak ada alasan untuk tidak bersyukur, bahkan orang yang mendapatkan musibah
pun sepantasnya harus bersyukur karena pada hakikatnya musibah atau cobaan
adalah penghormatan Allah kepada hambaNya yang dikehendaki untuk
meningkatkannya menjadi lebih mulia.
Termasuk
implementasi syukur adalah seorang hamba berterima kasih kepada sesama,
terutama kepada kedua orang tua, kepada guru dan kepada orang-orang yang telah
berjasa kepadanya. Bersyukur kepada Allah sama artinya bersyukur kepada sesama.
Dan tidak berarti apa-apa seseorang yang tidak pernah berbaik hati kepada
sesama. Orang lain adalah diri kita. Mencintai orang lain berarti mencintai
dirinya sendiri. Menghormati orang lain berarti pula menghormati dirinya
sendiri. Sebaliknya membenci orang lain berarti membenci dirinya sendiri dan
berakibat buruk terhadap dirinya.
Dari
sikap bersyukur itulah akan tumbuh suasana harmonis, persaudaraan, persatuan,
kedamaian, kerukunan dan kebahagiaan. Dan yang lebih penting adalah kelimpahan
rahmat dan karunia dari Allah swt yang luar biasa tanpa perhitungan dan tidak
disangka-sangka. Sebaliknya jika tidak bersyukur, akan timbul perselisihan,
percekcokan, pertengkaran dan permusuhan di antara sesama kita. Turunlah azab
Allah. Siapa sih, orang yang mau diberi siksa. Allah berfirman : “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."(QS
14:7).
Orang fakir yang sabar itu lebih utama daripada orang kaya yang
bersyukur dan akan masuk syorga lebih awal bersama golongan “sabiqunal
awwalun”. Tetapi jika yang fakir dan miskin itu mampu bersabar dan mampu
bersyukur, maka ia meraih puncak keutamaan dari segala-galanya. Demikian
untaian dari Abdul Qadir Al-Jailani di
dalam Manaqibnya.
Secara naluriyah, manusia tidak suka memiliki harta sedikit. Dan
ingin mempunyai harta banyak lagi
melimpah. Karena dengan harta banyak, semua keinginan dapat terpenuhi terutama
kebutuhan pokok sehari-hari. Namun yang menjadi persoalan adalah apakah ia
merasa puas dengan harta yang banyak itu lantas tenang hidupnya. Ternyata dalam
prakteknya tidak sesederhana itu. Tidak sedikit orang kaya yang stres, bingung
menghadapi kehidupan, selalu diliputi rasa cemas, galau. Apalagi di era
globalisasi yang dipenuhi dengan kemajuan teknologi di berbagai segi kehidupan.
Manusia semakin haus dan tidak akan pernah merasa puas dengan kemajuan yang ada
sampai ajal tiba, kecuali orang-orang yang dapat mengendalikan diri dan
membatasi keinginan-keinginannya untuk tujuan ibadah.
Alqur’an berkali-kali mengingatkan bahwa kehidupan dunia ini adalah
kesenangan yang menipu, tetapi peringatan itu tidak pula diindahkan. Maka
terseok-seoklah kehidupan mereka, lalu berakhirlah diujung hayatnya dengan
kesia-siaan, hidup tanpa makna. Islam tidak melarang umatnya untuk menjadi
orang kaya. Justru Allah menjanjikan umat Islam ampunan dan kekayaan dan Iblis
mengajak kita agar selalu dalam kefakiran, kemiskinan dan kekufuran. Umat
manusia yang tidak rela dengan harta sedikit dan tidak pula puas dengan harta
banyak, itulah manusia fakir yang dijanjikan syaitan. Oleh karena itu harta
sedikit tetapi cukup lebih baik daripada harta banyak tetapi tidak cukup. Buat
apalah harta banyak tetapi tidak mencukupi kebutuhan dan keinginannya. Sebesar
apapun harta yang dimilikinya tidak akan pernah memuaskan, kecuali dengan
membatasi keinginannya. Jadi, persoalannya bukan pada sedikit banyaknya harta,
tetapi pada rasa kesyukuran bagi pemiliknya. Namun jika sama-sama bersyukur,
mempunyai harta sedikit lebih baik, karena akan mempercepat hisab atau perhitungan
di hari pembalasan.
Cobaan atau musibah yang pasti akan dialami oleh setiap insan adalah
kematian sebagai peristiwa yang paling ditakuti. Biasanya sebelum datang ajal,
ada tanda-tanda yang mengawalinya, yaitu sakit, karena ada organ tubuh yang
mulai rusak. Di sini ia mulai merasakan
dan menyadari bahwa kesehatan adalah segala-galanya. Dan kekayaan meskipun
banyak tak ada artinya bagi orang sakit. Ia kemudian mengorbankan seluruh
kekayaannya untuk pengobatan agar lekas sembuh. Mengapa di waktu sehat harta
kekayaannya tidak dimanfaatkan untuk amal soleh, amal jariyah sebagai rasa
syukur atas nikmat sehat dan nikmat rizki yang diberiikan Allah. Kekecewaanlah
yang kemudian dirasakannya, seperti tidak ada artinya membanting tulang bekerja
keras di waktu muda dan mereguk kekayaan yang melimpah, tetapi kemudian habis
sekejap untuk biaya pengobatan dan tiada arti kekayaan bagi dirinya karena
tidak sembuh apalagi bagi kemanusiaan atau amal soleh sebagai bekal sesudah
mati.
Oleh karena itu, beruntunglah orang yang pandai bersyukur. Dalam
kondisi apapun ia selalu bersyukur. Apalagi di saat sehat dan banyak uang, ia
gunakan sebaik-baiknya untuk amal ibadah. Di waktu sakit pun ia bersyukur
kepada Allah karena sakit yang dihadapinya dengan sabar apalagi bersyukur, Allah
mengampuni seluruh dosa-dosanya. Bagaimana kalau kematian tidak diawali dengan
sakit, tentu banyak orang terkejut atas kematiannya dan tidak terampuni
dosa-dosanya serta tidak ada kesempatan untuk bertaubat kepada Allah swt.
Itulah kemurahan Allah yang sering manusia melupakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar